Mengulas Tentang Resep Masakan, Resep Pengobatan dan Informasi Lainnya

Ahlissunnah Wal Jama’ah Vs Ahli Fitnah, Ahli Bid'ah


A. Ahlissunnah Wal Jama’ah


Ahlissunnah Wal Jama’ah adalah Manhaj beraqidah yang benar dengan dua ciri. Pertama: mereka sangat mencintai keluarga Nabi Muhammad SAW. Kedua: mereka juga sangat mencintai Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Maka tidak cukup orang mengaku beragama Islam akan tetapi dengan mudah mereka mencaci para Sahabat Nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari Ahlissunnah Wal Jama’ah model ini diwakili oleh kelompok Syi’ah (Syi’ah Imamiyah Itsnata ’Asyariyah) dengan ciri khas paling menonjol dari mereka adalah mengagungkan Ahlibait Nabi Muhammad SAW akan tetapi merendahkan para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Begitu juga tidak cukup orang mengaku Islam akan tetapi dia merendahkan Ahlul Bait Nabi Muhammad SAW. Dan yang keluar dari Ahlissunnah Wal Jama’ah model ini diwakili oleh mereka yang tidak peduli dengan urusan Ahlibait Nabi Muhammad SAW, merendahkan Sayyidina Ali Bin Abi Tholib ra. biarpun di sisi lain mereka mengakui para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ringkasnya Ahlissunnah Wal Jama’ah adalah mereka yang memuliakan Ahlul Bait dan sekaligus mengagungkan para Sahabat Nabi Muhammad SAW.

Ada di antara orang-orang yang mengaku mengagungkan dan memuliakan para Sahabat Nabi Muhammad SAW dan Ahlibait Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi mereka punya penafsiran-penafsiran tentang aqidah yang jauh dari kitab Alloh dan sunnah Rasululloh SAW.

Di saat seperti itu muncullah seorang yang dinobatkan sebagai Imam besar yang telah berusaha untuk membersihkan Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang benar dari unsur luar dan menjerumuskan. Dan muncullah cetusan-cetusan Ilmu Aqidah yang benar yang dari masa ke masa menjadi pegangan Umat Islam sedunia yaitu Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah.

Asy`ariyyah adalah sebuah pergerakan pemikiran pemurnian Aqidah yang dinisbatkan kepada Imam Abul Hasan Al-Asy`ari. Beliau lahir di Bashrah tahun 260 Hijriyah bertepatan dengan tahun 837 Masehi. Beliau wafat di Bashrah pada tahun 324 H / 975-6 M.

Imam Al-Asy`ari pernah belajar kepada ayah tiri beliau yang bernama Abu Ali Al-Jubba`i, seorang tokoh dan guru dari kalangan Mu`tazilah. Sehingga Al-Asy`ari mula-mula menjadi penganut Mu`tazilah, sampai tahun 300 H. Namun setelah beliau mendalami Aqidah Mu`tazilah hingga berusia 40 tahun, terjadilah debat panjang antara beliau dengan gurunya, Al-Jubba`i dalam berbagai masalah. Debat itu membuat beliau tidak puas dengan konsep Mu`tazilah dan beliaupun keluar dari paham itu dan kembali kepada pemahanan Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Imam Al-Asy`ari telah berhasil mengembalikan pemahaman sesat kepada Aqidah yang benar dengan kembali kepada apa yang pernah dibangun oleh para Salaf (Ulama sebelumnya) dengan senantiasa memadukan antara dalil nash (naql) dan logika (`aql). Dengan itu beliau berhasil melumpuhkan para pendukung Mu`tazilah yang selama ini menebar fitnah di tengah–tengah Ummat Ahlissunnah. Bisa dikatakan sejak berkembangnya aliran Asy`ariyah inilah Mu`tazilah berhasil diruntuhkan.

Yang digarap oleh Imam Al’Asyari bukan saja kaum Mu’tazilah. Pada masa Ulama Salaf ini, di sekitar tahun 260 H, mulai menyebar bid’ah Mu’tazilah, Khawarij, Musyabbihah dan lainnya dari kelompok-kelompok yang membuat faham baru. Selain Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W. 324 H) ada Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333 H) –semoga Alloh meridlai keduanya– yang beliau berdua datang dengan menjelaskan Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang diyakini para Sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalil-dalil naqli (nash-nash al-Quran dan Hadits) dan dalil-dalil aqli (argumen rasional) disertai dengan bantahan-bantahan terhadap syubhat-syubhat (sesuatu yang dilontarkan untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) kaum Mu’tazilah, Musyabbihah, Khawarij tersebut di atas dan Ahli Bid’ah lainnya. Sehingga Ahlissunnah dinisbatkan kepada keduanya. akhirnya Ahlissunnah Wal Jama’ah akhirnya dikenal dengan nama al-Asy’ariyyun (para pengikut imam Abu al-Hasan al-Asy’ari) dan al-Maturidiyyun (para pengikut imam Abu Manshur al-Maturidi).

Hal ini tidak menafikan bahwa mereka adalah satu golongan yaitu al-Jama’ah. Karena sebenarnya jalan yang ditempuh oleh al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam pokok aqidah adalah sama dan satu yaitu kembali kepada Salaf dalam Aqidah. Beliau berdua tidak medatangkan sesuatu yang baru akan tetapi hanya menghadirkan ilmu pendahulunya yang benar di saat terjadi maraknya fitnah.

Adapun perbedaan yang terjadi di antara keduanya hanya pada sebagian masalah-masalah furu’ (cabang) Aqidah. Hal tersebut tidak menjadikan keduanya saling menghujat atau saling menyesatkan, serta tidak menjadikan keduanya lepas dari ikatan golongan yang selamat (al-Firqah al-Najiyah). Perbedaan antara al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini adalah seperti halnya perselisihan yang terjadi antara para Sahabat nabi, perihal apakah Rasululloh melihat Alloh pada saat Mi’raj?.

Sebagian Sahabat, seperti Sayyidah ‘Aisyah ra dan Ibn Mas’ud mengatakan bahwa Rasululloh SAW tidak melihat Tuhannya pada waktu Mi’raj. Sedangkan Abdullah Ibn ‘Abbas mengatakan bahwa Rasululloh SAW melihat Alloh dengan hatinya. Alloh memberi kemampuan melihat kepada hati Nabi Muhammad sehingga dapat melihat Alloh. Namun demikian al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah ini tetap sepaham dan sehaluan dalam dasar-dasar Aqidah.

Al-Hafizh Murtadla az-Zabidi (W. 1205 H) mengatakan:“Jika dikatakan Ahlissunnah Wal Jama’ah, maka yang dimaksud adalah al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah “. (al-Ithaf, juz 2 hlm 6). Jadi Aqidah yang benar dan diyakini oleh para Ulama Salaf yang Shalih adalah Aqidah yang diyakini oleh al-Asy’ariyyah dan al-Maturidiyyah. Karena sebenarnya keduanya hanyalah meringkas dan menjelaskan Aqidah yang diyakini oleh para Nabi dan Rasul serta para Sahabat. Aqidah Ahlissunnah adalah Aqidah yang diyakini oleh ratusan juta Umat Islam, mereka adalah para pengikut Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, serta orang-orang yang utama dari Madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah).

Karena yang tersebar di Indonesia adalah Aqidah Asya’riyyah maka dalam tulisan ini kami lebih sering menyebut Asy’ariyyah dari pada al-Maturidiyyah.

Ulama Asya’iroh dari masa ke masa

Ulama Asya’iroh (pengikut Abul Hasan al-Asya’ari) dari masa ke masa selalu mempunyai peran dalam membela Aqidah yang benar Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah dan juga disiplin ilmu yang lainnya seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Hadits dan Fiqih.

Dan terbukti dalam sejarah perkembangan Ulama Asya’iroh-lah yang memenuhi penjuru dunia. Merekalah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang sesungguhnya.

Imam an-Nawawi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Qurthubi, Imam al-Baqilani, Imam al-Fakhr ar-Razi, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam Zakariya al-Anshari dll. Yang mereka semua adalah panutan kita dalam berbagai disiplin ilmu Islam. an-Nawawi dalam fiqih dan haditsnya dengan Kitab Fiqih yang sangat mashur Minhajut Tolibin dan Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab juga kitab haditsnya Riyadhush Sholihin yang tidak sah seorang alim kecuali harus pernah membacanya. Imam Ibnu Hajar al-Asqolani pakar ilmu hadits yang digelari Amirul Mukminin dalam ilmu hadits yang sangat masyhur dengan Fathulbari-nya buku panduan bagi semua yang ingin memahami kitab Shohih Bukhori. Imam ar-Rozi gurunya para Ahli Tafsir (Syaihul Mufassirin) tidak ada Ahli Tafsir yang datang setelah beliau kecuali harus menimba Ilmu Tafsir dari karangan-karangan beliau.




B. Ahli Fitnah dan Ahli Bid'ah


Akhir-akhir ini muncul di masyarakat kita sekelompok orang yang mengaku beraqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah bahkan mereka mengaku SALAFI (perlu dicatat: salafi pun sepertinya terpecah lagi, haduh...) akan tetapi mereka adalah Ahlissunnah Wal Jama’ah palsu dan Salafi palsu.

Ciri kelompok tersebut adalah memusuhi Ulama Asya’iroh dengan melontarkan bermacam tuduhan yang muncul karena kedengkian dan kebodohan mereka akan Ahlissunnah Wal Jama’ah Asy’ariyyah.

Kadang mereka juga mengakui Abul Hasan al-Asy’ari akan tetapi membuat cerita bualan bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari dalam beraqidah mengalaimi 3 fase. Yang pertama beliau mengikuti pemikiran Mu’tazilah, selanjutnya kedua beliau keluar dan mengikuti Abdullah bin Said bin Kilab, dan yang ke tiga pindah kepada Manhaj yang benar –manhaj Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Akan tetapi bualan mereka itu ditolak oleh kenyataan yang bisa di baca dari murid-murid dan pengikut setia Imam Imam Abul Hasan Al-Asy’ari bahwa beliau setelah keluar dari Mu’tazilah masuk Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang sampai hari ini masyhur dengan Asya’ariah yang melahirkan pakar-pakar aqidah Ahlissunnah Asy’ariyyah sampai hari ini.

Ciri lain Ahli Fitnah tersebut adalah membenci Ahli Tasawwuf dengan membabi buta. Bahkan mereka dengan mudah mencaci dan mebid’ahkan kaum muslimin Asya’iroh karena beberapa amalan yang sudah mengakar dari masa ke masa dan dengan hujjah yang jelas dan kuat. Semua ini akan kami ulas pada pembahasan lanjutan dari artikel ini atas izin Alloh.

Kesimpulanya bahwa Aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah yang sesungguhnya adalah Aqidah Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Wallohu A’lam Bishshowab.

Oleh: Buya Yahya, Pengasuh Lembaga Pengembangan Dakwah Al Bahjah Cirebon. Ingin info keislaman? Kunjungi fanspage resmi Buya Yahya di sini: https://www.facebook.com/buyayahya.albahjah

Sumber: www.elhooda.net
Share:

Kaum Mujassimah: Matahari Berputar Mengelilingi Bumi

Kaum Mujassimah: Matahari Berputar Mengelilingi Bumi 

Kaum Mujassimah: Matahari Berputar Mengelilingi Bumi
Kaum Mujassimah: Matahari Berputar Mengelilingi Bumi  - Saya berani berkata, ulama-ulama kaum mujassimah yang menafsiri bahwa "Matahari Berputar Mengelilingi Bumi" adalah suatu kebodohan yang "memalukan" dan tidak melihat kebenaran ilmiah yang sudah maklum adanya.

Ajaran Islam tidak bertentangan dengan kebenaran ilmiah, kebenaran yang tidak bisa disangkal dengan apapun yang bersifat "Kemakhlukan". Bila fakta ilmiah demikian namun ajaran Islam demikian, bertentangan, Pasti ada kesalahan penafsiran!

Bumi itu berputar dalam konteks "putaran menggulung" di depan matahari, yang akan menghasilkan hukum pengulangan "Hari". Bumi itu berputar dalam konteks "putaran melingkar", yang akan menghasilkan hukum pengulangan "Bulan". Ini sudah menjadi kebenaran ilmiah yang tidak bisa dibantah walau memakai dalil!

Lalu bagaimana logika "Matahari Berputar Mengelilingi Bumi" di saat bumi itu juga "berputar menggulung"? Inilah keyakinan, yang mungkin sebagian kaum mujassimah. Mereka meyakini, bumilah pusat anariksa dan mereka pun meyakini bahwa bumi "berputar menggulung"? Sungguh akan mengalami kekacauan yang sangat luarbiasa.

Mereka meyakini bahwa terjadinya siang-malam karena matahari mengelilingi bumi. Dalam hal ini bisa saja masuk akal namun akan menimbulkan keyakinan bahwa perputaran matahari membutuhkan kecepatan berkali-lipat untuk "beganti hari" dari perkiraan penemuan para ilmuan tentang kecepatan perputaran bumi mengelilingi matahari. Belum lagi bumi itu "berputar menggulung" yang akan mengakibatkan terjadi kekacauan yang luarbiasa pada kehidupan.

Kecepatan bumi dalam "berputar menggulung" untuk berganti hari saja kecepatannya tidak seperti yang kita lihat di bumi. Dari bumi mah, seperti tidak sedang berputar. Bagaimana jadinya bila matahari yang berputar? Sehari bisa seperti ukuran dimana bumi mengelilingi matahari secara "full". Kalau mau cepat, maka matahari membutuhkan kecepatan ektra agar bisa menghasilkan hari.

Sebagai sedikit bukti ilmiah, baca dan lihat vidionya: http://www.muslimedianews[.]com/2015/02/bumi-tidak-mengelilingi-matahari-video.html

Catatan: Terlintas, bumi seolah tidak mengelilingi matahari. Namun ketika melihat pergerakannya, menghasilkan gelombang gerakan yang sepertinya bumi juga mengelilingi matahari. Matahari dan bumi beredar dalam porosnya masing-masing, seperti pesawat terbang. Namun demi hukum penanggalan harus ada kepastian "Siapa mengelilingi siapa"
Share:

Bertemu Nabi SAW Secara Sadar, Bisa Terjadi - Edisi Isro Mi'Roj

Mimpi bertemu Nabi SAW sudah sering didengar oleh kebanyakan orang bahwa hal itu bisa saja terjadi. Namun bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar pun bisa saja terjadi. Makanya, jangan main-main bila sedang Marhabanan atau Debaan, karena bisa saja Nabi SAW hadir di acara yang sedang diselenggarakan.

Sebagian orang menganggapnya "Tahayul" atau anggapan lain tentang bertemu Nabi SAW. Biarlah sebagian orang itu menikmati otak tuyul, tidak mengakui bahwa manusia beriman, kekasih Allah, bisa bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar.

"Marhaban Ya Nur Aini" sebuah ungkapan pengharapan Nabi SAW untuk datang. Namun jangan diyakini "Pasti Datang"

Berikut ini adalah catatan langsung dari Buya Yahya (Pengasul LPD Albahjah Cirebon):

"Rosululloh SAW yang dalam keadaan hidup bertemu dengan para Nabi dan Rasul yang telah meninggal dunia dan berdialog. Itu adalah mukjizat dan yang di fahami para Ulama bahwa orang yang hidup saat ini bisa saja bertemu dengan Nabi Muhammad SAW sebagai karomah yang diberikan oleh Alloh kepada orang tersebut. Dan inilah pengalaman para kekasih Alloh yang sangat banyak jumlahnya bertemu dengan Nabi SAW setelah Nabi Muhammad wafat."

"Akan tetapi ada hal yang perlu diperhatikan bahwa berdusta atas nama Rasululloh adalah dosa besar dan ancamanya adalah neraka jahanam. Orang yang mengaku bertemu Rasululloh atau bermimpi bertemu Rasululloh dengan dusta tempatnya adalah neraka jahannam."

"Penjelasan tentang kemungkinan seorang sholih bertemu Rasululloh SAW jangan membuka celah pendusta dan dajjal kecil untuk mengaku bertemu Rosululloh SAW karena gila pangkat penghormatan, maqom kemulyaan didunia dan ingin dianggap sebagai waliyulloh. Itulah wali syetan yang pendusta."

Sumber: https://www.facebook.com/buyayahya.albahjah
Share:

Allah Itu Bukan Di Atas Arsy - Tapi Di Langit Dunia

Hiya Sira (Sebuah ungkapan khas orang Buntet Pesantren Cirebon yang artinya ungkapan ledekan untuk ancaman), yang bicara Allah di atas Arsy, akan digugurkan tentang dalil bahwa "Allah Turun". Hayo, mau bicara apa? Apalagi didukung fakta ilmiah bahwa "Bumi Itu Bulat" dan "Perbedaan Siang-Malam Di Setiap Negara".

Dahulu, sebelum diketahui bumi itu bulat, manusia masih menganggap bahwa dumi itu datar. Sehingga hukum siang dan malam serempak di seluruh wilayah bumi. Tetapi sekarang, terbukti, bumi itu bulat dan di setiap negara mengantri mengalami siang dan malam.

=> Versi Penglihatan Di Bumi: Bila di Indonesia sedang malam, maka Allah (menurut kaum mujassimah) ada di Indonesia. Namun Allah tidak sedang di Amerika karena di sana masih siang. Ketika Indonesia siang, Allah tidak kembali ke Arsy, melainkan ke wilayah lain yakni di Amerika. Dan seterusnya begitu, Allah.

=> Versi Penglihatan Di Luar Angkasa: Allah menunggu, di bagian malam saja. Alias menunggu di daerah yang tidak terkena sinar matahari. Terus saja begitu, di langit dunia.

Begitukah Allah? Nauzubillah atas pemikiran syetan ini.

Apakah masih percaya, Allah di atas Arsy? Percaya kebenaran fakta ilmiah atau tafsir dalil dari ulama kaum mujasimah?

A. Berikut Dalil Allah Di Atas Arsy:

"Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya."

Kutipan dari kaum Mujasimah:

"Dari dalil di atas menyatakan bahwasanya Allah Ta’ala bersemayam di atas ‘arsy itu seperti halnya bulan. Jikalau Anda sekalian ingin tau Allah, maka perhatikanlah bulan di langit! Bulan itu bertempat di langit, namun dia bersama kita, walaupun kita berjalan ke perkotaan; ke perkampungan; ke puncak gunung; ke puncak bukit; ke tengah lautan luas; ataupun ke pemukiman penduduk, namun bulan selalu bersama-sama dengan kita semua. Begitu juga dengan Allah Swt yang bertempat di atas ‘arsy-Nya, namun Dia Swt selalu bersama kita dimana pun kita berada."

B. Berikut Dalil Allah Turun ke Langit Dunia:

Dari Abu Hurairah Ra bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Rabb kita (Tuhan kita) turun ke langit dunya (langit yang ke satu) pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan, dan barangsiapa yang memohon ampunan kepada-Ku, maka akan Aku ampuni!’”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari: 1145 dan Muslim: 758).

Kutipan dari kaum Mujasimah:

Allah setiap hari tinggal dan bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Namun setiap tengah malam, Allah pergi dari ‘arsy-Nya untuk turun ke langit dunya yang bertujuan untuk menyurvei siapa saja yang sedang melaksanakan sholat malam (contoh: Sholat Tahajud). Wajib diketahui bahwa ‘arsy Allah (singgasana Allah yang sebagai tempat kediaman Allah) itu lokasinya adalah berada di atas langit yang ke tujuh. Sedangkan langit dunya adalah langit yang kesatu yang menurut bahasa kita adalah ‘lapisan atmosfer’ atau bisa juga ‘luar angkasa’ atau ‘antariksa’. Jadi setiap hari Allah bersemayam di atas ‘arsy-Nya. Sedangkan setiap tengah malam, Allah menyurvei hamba-Nya untuk melihat siapa saja yang sedang melaksanakan sholat malam. Allah menyurvei hamba-Nya (manusia) dengan cara turun dari ‘arsy menuju ke langit dunya (lapisan atmosfer / luar angkasa / antariksa).

----

Selamat menikmati "Kegonjangan Keyakinan". Semoga mendapat hidayah, orang-orang yang masih menjizimkan Allah.
Share:

Hakekat Tuhan Perlu Dibela - Hakekat Tuhan Tidak Perlu Dibela

Dalam kamus KBBI menjelaskan bahwa kata "Bela" "Membela" adalah menjaga baik-baik; memelihara; dan merawat. Lalu bagaimana hakekat "Tuhan perlu dibela"? dan bagaimana ucapan "Tuhan tidak perlu dibela?"

Sekarang, kita ambil ucapan manusia yang sebagai orang lemah, bukan maksud menyamakan dengan Alloh. Ada dua kalimat yaitu hakekat "Tuhan Perlu Dibela" dan "Tuhan Tidak Perlu Dibela."


A. Tuhan Perlu Dibela

"Saya akan berjuang membela Tuan dalam menghadapi serangan mereka."

"Anda tidak perlu membela saya. Saya tidak perlu pembelaan anda. Saya mengerti bahwa anda menghormati saya. Tapi, tanpa pembelaan dari Anda, saya memang berkuasa memelihara diri sendiri, menjaga nama baik diri sendiri dan merawat diri sendiri."

"Tapi ijinkan saya tetap membela Tuan sebagai sebuah kewajiban seorang prajurit kepada panglima, kepada Tuan sendiri yang memang perkasa dalam penyerangan musuh-musuh."

"Itu adalah hak kemanusiaan anda karena saya pun mengajari hal itu."


B. Tuhan Tidak Perlu Dibela

"Saya TIDAK akan berjuang membela Tuan dalam menghadapi serangan mereka."

"Anda tidak perlu membela saya. Saya tidak perlu pembelaan anda. Saya mengerti bahwa anda menghormati saya. Tapi, tanpa pembelaan dari Anda, saya memang berkuasa memelihara diri sendiri, menjaga nama baik diri sendiri dan merawat diri sendiri."

"Tapi ijinkan saya tetap TIDAK membela Tuan sebagai sebuah kewajiban seorang prajurit pada panglima, kepada Tuan sendiri yang memang perkasa dalam penyerangan musuh-musuh."

"Itu adalah hak kemanusiaan anda karena saya pun TIDAK mengajari hal itu."

----

Secara bahasa, mana yang lebih pantas diucapkan oleh seorang hamba, anak buah, bawahan kepada tuannya? Apalagi ucapan kepada Tuhan yang maha perkasa, tanpa pembelaan manusia pun tetap perkasa? Hati nurani yang berbicara untuk menjawab...
Share:

Akidah HaQ - Allah Tidak Bertempat Bersama Nabi SAW

Nabi Muhammad SAW berbicara dengan Alloh SWT di atas Mustawa. Mungkin ada sebagian kaum muslimin yang setelah membaca kisah Isro’ Mi’roj dan kisah Nabi SAW berbicara dengan Alloh SWT di atas Sidratul Muntaha dan di atas Mustawa lalu berangan-angan bahwa Alloh ada di atas langit sana. Maka yang harus dijelaskan bahwa atas Mustawa bukanlah tempatnya Alloh, akan tetapi tempatnya Nabi SAW. Alloh tidak butuh kepada tempat. Maka jangan dikatakan Alloh di atas, sebab atas dan bawah adalah ciptaan Alloh SWT.

Disebutkan juga di dalam Al-Qur’an, Alloh mengajak bicara Nabi Musa As , di saat Nabi Musa berada di atas atas bukit Tursina, maka yang harus dipahami adalah bahwa bukit Tursina adalah tempatnya Nabi Musa, bukan tempatnya Alloh. Lalu “Alloh dimana?” Jawabnya adalah karena Alloh tidak butuh tempat, maka jangan bertanya dengan pertanyaan “Alloh dimana?”. Karena Alloh tidak butuh mana-mana, Alloh tidak serupa dengan makhluknya.

Kepercayaan bahwa Alloh di atas langit adalah kesesatan dalam beraqidah. Hal-hal semacam itu harus diluruskan, bahkan ada di beberapa sekolahan yang siswa-siswi mereka, ditanya oleh gurunya dengan pertanyaan “Alloh dimana ?” Itu adalah pertanyaan fitnah yang tidak membangun aqidah. Dan itu karena mana-mana adalah ciptaan Alloh , dan Alloh tidak butuh kepada ciptaanNya.

Ada diriwayatkan dari Imam Muslim tentang pertanyaan Rasulullah kepada seorang budak, dengan pertanyaan “Alloh dimana?” dan hal itu sudah dijelaskan oleh para Ulama panjang lebar dengan mendatangkan kisah budak tersebut dari riwayat para Imam Ahli Hadits yang lainnya, hingga tidak menyisakan keraguan apapun bahwa Alloh tetap tidak butuh tempat.

Catatan Saya: Alloh tidak juga seperti bulan atau matahari (menurut pengakuan mereka, Alloh seperti bulan atau matahari yang tidak menempel ke tempat) yang seakan dianggap berdiri sendiri tanpa menempel ke tempat. Pertanyaannya, apakah bulan dan matahari tidak menempel? Bulan pada hakekatnya menempel pada ruang (seakan) hampa, dan ruang hampa hakekanya adalah tempat. Bila Alloh berada di atas sesuatu yang tidak ada, berarti makna berada di atas sesuatu yang tidak ada adalah tempat itu sendiri. Dan perlu ditanyakan, "Di atas sesuatu yang tidak ada itu seperti apa?"

Oleh: Buya yahya, Pembina Lembaga Pengembangan Dakwah Al-Bahjah Cirebon, Penceramah Di MNCTV Setiap Hari Senin Pagi.

- Fanspage: Buya Yahya,
- Situs: BuyaYahya.tv, BuyaYahya.org, BuyaYahya.com
Share:

Kasihan Deh, Wanita - Sekarang Pria Kerja Di Rumah

Fatka atau prasangka, sekarang dunia kerja, baik di perusahaan atau di lembaga sudah dikuasai para wanita. Lihat saja penyiar di televsi, kebanyakan yang menjadi peran utama siaran adalah wanita. Lihat di Tv One, setiap hari yang tampil adalah wanita. Lihat di MetroTv, pun dengan mata Najwa, wanita menguasai acara. Acara dangdut di televisi, lagi-lagi yang menjadi penyanyi hot adalah wanita.

Sekarang pria bagaimana? Tidak masalah. Ini kesempatan bagus bagi pria yang tidak "Sok Jaga Harga Diri". Pria yang sudah merasakan penat, lelah, stres, tidak punya banyak waktu dan segalanya dalam dunia kerja, akan memilih pada dunia kerja yang santai. Dunia kerja yang santai adalah membangun aset. Aset yang akan menghasilkan pundi-pundi uang secara otomatis tanpa kerja.

Ketika terjadi "Revolusi Emansipasi Pria", banyak pria lebih asyik menjadi bapak rumah tangga sambil membangun aset hasil memanfaatkan gaji istri, maka bagaimana dengan wanita? Maka tinggal berkata saja, "Kasihan Deh, wanita Kerja Di luar. Mau Tukeran?"

Pria sebagai bapak rumah tangga sambil kerja di rumah adalah solusi membuka peluang kerja baru. Karena bila sudah menghasilkan, maka itulah peluang kerja bagus untuk dirinya sendiri. Kalau kita mengandalkan pemerintah atau orang lain untuk membangun lapangan pekerjaan, maka sampai kapan kita menunggu?

Dan perlu dicatat: Jiwa pebisnis pria ternyata lebih hebat daripada wanita. Jadi, lebih bagus yang menjadi pekerja rumah tangga adalah pria agar bisa sambil bekerja membangun bisnis di rumah.

Share:

Alloh Kok Turun Ke Langit Dunia Sedangkan Bumi Berputar?

Terlepas, apakah bumi yang berputar mengelilingi matahari atau matahari yang mengelilingi bumi, yang jelas terjadi sebuah perubahan arah antara bumi dengan matahari yang akan menentukan siang-malam. Bila terjadi perputaran arah antara bumi dengan matahari, maka konsekuensinya adalah terikat "Hukum Pengulangan".

Dari hari senin, eh kembai ke senin lagi. Dari malam, eh kembali ke malam lagi. Dan seterusnya karena memang terikat "Hukum Pengulangan." Sehigga hidup penuh pengulangan adalah relevan dengan kehidupan yang memang terikat hukum pengulanan. Bila bosen dengan pengulangan-pengualangan, maka tanda-tanda akan "kiamat", beuh... mampus.

Lalu bagaimana hakekat Allah turun ke langit dunia di malam hari sedangkan bumi selalu berputar (atau matahari yang berputar) mengelilingi matahari? Konsekuensinya adalah Alloh terikat hukum pengulangan. Artinya, Allah harus terus berputar mengelilingi bumi karena mengikuti waktu malam. Apakah seperti ini akidah yang benar? Jelas ini akidah yang sungguh memalukan secara kajian ilmiah modern, merendahkan, dan menghina hakekat ketuhanan Allah.

Ilmu modern semakin memperkuat Aqidah Asyariyah, Ahlussunnah Wal Jama'ah.

NB: Ada juga sebagian ustad Aswaja berkata "Allah Turun", namun makasud sebenarnya bukan hakekatnya Allah yang turun. Namun sebaiknya, untuk para ustad, jangan berkata yang mencirikan Allah terlihat arah, bentuk, tempat dan waktu.
Share:

Kenapa Anda Mendongak Ke Langit, Membahas Arah Alloh?

Apakah langit yang dimaksud? Bila yang dimaksud adalah langit yang kita lihat, itu langit alam semesta yang kita tempati. Berarti di atas langit adalah alam malakut, alam barzah atau bagaimana? Apakah alam malakut, alam akhirat, alam barzah memang terlihat mata kita? Bila kita ingin melihat alam malakut, lihat saja ke langit. Apakah begitu?

Para nabi berada di atas langit dari langit satu sampai langit tertinggi, apakah tujuh lapis langit yang dimaksud adalah langit yang kita lihat? Bila memang iya, berarti keberadaan mereka masih terikat alam semesta yang kita tempati. Karena menurut ilmu Fisika Quantum, segala alam semesta sebenarnya saling menyatu karena alam semesta memang terbuat dari energi "Quanta".

Bila memang bukan ke atas langit alam semesta, kenapa mendongak ke atas langit? Apakah benar-benar bahwa arah Allah ada di atas langit seperti yang kita lihat? Bila orang Amerika dan orang Indonesia saling melihat ke langit, dimanakah posisi yang pas keberadaan "Atas Langit" karena memang keduanya saling berbeda arah dalam memandang langit? Bukankan ini terjadi "relativisme arah"? Bila teradi relatifisme arah, kenapa masih menentukan kepastian arah untuk Alloh sedangkan Alloh tidak terikat arah?

Membahas alam saja, kita masih dibingungkan oleh rahasia-rahasia ilmu Alloh. Bagaimana bisa, akhlaknya bagaimana bila kita berani membahas hakekat zat Allah?

Ilmu modern semakin memperkuat Aqidah Asyariyah, Ahlussunnah Wal Jama'ah.
Share:

Edisi Isro Mi'roj - Allah Berbicara: Apakah Pakai Mulut, Suara dan Kosakata?

Membahas Isro Mi'Roj, banyak sekali ujian keimanan kita pada Alloh. Bila membahas Isro Mi'Roj, maka akan berkaitan dengan naiknya Allah ke langit. Dalam spekulasi pikiran, ada saja yang menduga bahwa jasad Nabi dirubah menjadi badan cahaya karena alasan konyol: "Nanti Hancur". Tentu hal ini tidak dibenarkan sesuai makna kemuliaan Nabi SAW dan keajaiban Mukjizat. Padahal, secara teori "Lubang Cacing", jasad Nabi bisa menembus langit, menempus batas alam tanpa berubah diri menjadi cahaya.

Dalam hal Isro Mi'Roj yang lainnya adalah mengenai Nabi Muhammad bertempat di mana bersama Allah berbicara, dan bolak-balik mengajukknan pengurangan jumlah solat. Dalam hal keyakinan, tentu ini akan menguatkan akidah mereka yang berkata bahwa Allah bertempat di singgasana Allah. Tentu ini akidah yang berbahaya, karena efeknya akan membuat berbagai "Hukum Kemakhlukan".

Dalam hal ini tentu akan membahas mengenai "Allah berbicara" saat Nabi SAW melakukan Isro Mi'Roj. Berikut, saya mengutip pendapat Buya Yahya:

"Di saat Nabi Muhammad SAW dimi’rojkan oleh Alloh SWT (diangkat keatas langit ketujuh). Disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW berbicara langsung dengan Alloh SWT. Yang harus dipahami bahwa menurut jumhur ulama bahwa Nabi Muhammad SAW di saat itu tidak melihat Alloh dengan mata kepala beliau, akan tetapi beliau melihat Alloh SWT dengan mata hatinya."

"Dan memang benar Alloh berbicara dengan Nabi Muhammad adalah dengan hakikat berbicara yang hanya Alloh dan Rasululloh-lah yang tahu caranya."

"Akan tetapi yang harus kita ketahui bahwa di saat Nabi Muhammad berbicara dengan Alloh bukan berarti Nabi harus melihat dengan mata kepala beliau, ini yang harus kita yakini. Memang ada sebagian para ulama yang mengatakan Nabi Muhammad melihat dengan mata kepala beliau seperti pendapat yang di nukil dari Imam an-Nawawi, Imam Qodi’iyadh dan Imam al-Farro’. Akan tetapi para pakar aqidah Ahlisunnah waljamaah (Asy'ariyah, red) menjelaskan bahwasanya pendapat itu adalah pendapat lemah."

Oleh: Buya Yahya, Penceramah di MNCTV di setiap senin pagi, pengasuh LPD Al-Bahjah, dengan Fanspage "Buya Yahya"


Catatan Saya:

Tidaklah aneh ketika Allah berbicara (berfirman) pada makhluknya, karena Al-Qur'an pun diturunkan ada yang secara langsung, tanpa perantara malaikat Jibril. Walau demikian, Ahlisunnah waljamaah (Asy'ariyah - soalnya ada Ahlisunnah waljamaah Sa-wah), meyakini bahwa Allah tidak terikat bentuk (punya kerangka jasad seperti makhluk, lebih tepatnya manusia). Bila tidak terikat bentuk, maka keyakinan yang diperoleh adalah "Allah berbicara hanya Alloh dan Rasululloh-lah yang tahu caranya".

Di sinilah kita menyerahkan makna "Allah Berbicara" kepada Alloh.

Bukan malah seperti akidahnya kaum mujassimah yang menganggap Allah terikat bentuk, dan mengerikan. Bahkan menganggap "enteng" (menganggap biasa bahwa Allah terikat hukum kemakhlukan) dan "ora yambuh" (tidak peduli: ucapan khasnya "tidak bertanya seperti apa dan bagaimana") yaitu:

1. Allah Ta’ala mempunyai wajah!:

Bila punya wajah, tanpa mikir dan bagaimana dan seperti apa, otomatis akan meyakini Allah punya mulut. Dan kenyataan memang,

2. Allah Ta’ala juga bisa tertawa!

Bagaimana pun tanpa bertanya bagaimana dan seperti apa, kalau sudah membahas Allah benar-benar tertawa, maka akan mengartikan Allah "bersuara". Bukankah tertawa adalah mengeluarkan "suara"? Apa tidak boleh mengartikan "bagaimana dan seperti apa tertawa"? sedangkan tertawa sendiri adalah tradisi makhluk sehingga sudah lumbrah (lazim) tanpa pendalaman pemikiran. Otomatis, sudah menjadi kebiasaan, tertawa ya lewat mulut.

Berikut kutipan terjemahan dari golongan Mujassimah:

... Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka Ibnu Mas’ud Ra pun tertawa, lalu berkata: ‘Apakah kalian tidak bertanya kepadaku mengapa aku tertawa?’ Mereka menjawab: ‘Mengapa engkau tertawa?’. Beliau menjawab: ‘Demikian itulah tertawanya Rasulullah Saw. Ketika itu mereka (para shahabat) bertanya: ‘Mengapa anda tertawa, wahai Rasulullah?’. ‘Disebabkan tertawanya Tuhan semesta ‘alam tatkala orang itu berkata: ‘Apakah Engkau mengejekku, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta ‘alam?’. Lalu Allah berfirman: ‘Aku tidak sedang mengejekmu. Akan tetapi Aku Maha kuasa melakukan segala sesuatu yang Aku kehendaki’.’”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim, lihat Syarah Muslim [2/314-315]).

PERHATIAN: Hadist ini dan hadist lainnya yang saya tulis adalah hadist "mentah", diterjemahkan oleh orang-orang MUjassimah. Jadi, jangan telan mentah-mentah hadist ini walau dalam riwayat "Shahih".

Bila Alloh tertawa, maka pikirannya langsung bahwa Allah seperti manusia. Dan memang mereka meyakini bahwa,

3. Allah Ta’ala memiliki fisik sebagaimana manusia!

Jelaslah bahwa "tanpa bertanya seperti apa dan bagaimana", nyatanya Allah seperti manusia menurut mereka, kaum mujasimah. Sehingga berbicaranya Allah, bisa jadi mirip dengan berbicaranya manusia. Maka bila begitu,

4. Allah berbicara dengan "Pakai Mulut, Suara dan Kosakata

Kesimpulan: Allah berbicara dengan "Pakai Mulut, Suara dan Kosakata" menurut mereka, tanpa bertanya seperti apa dan bagaimana. Faktanya, mereka pun meyakini bahwa Al-Qur'an baik bunyi dan hurufnya adalah kalam Allah. Padahal, kalam Allah (Bicara Allah) tidak bersuara, tidak berhuruf dan tidak seperti umumnya pembicaraan makhluk.



Baca: Lha, Antum Kan Satu Akidah? Antar Mujazimah Saling Mengkafirkan
Share:

Lha, Antum Kan Satu Akidah? Antar Mujazimah Saling Mengkafirkan

Mereka sama-sama meyakini "Trinitas Tauhid" yaitu membagi Tauhid menjadi 3 Kategori yakni Rububiyyah, Uluhiyyah, dan Asma’ was-Sifat. Trinitas Tauhid ini diajarkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah dan dibesar-besarkan oleh pengikutnya.



Saya akan membahas mengenai mengimani "Asma’ was-Sifat". Karena, menurut mereka, segala sesuatu yang menjelaskan diri Alloh, menjelaskan Zat-nya, maka wajib diimani tanpa bertanya, "Seperti Apa dan Bagaimana?" (Ucapan cuci tangan dari lumpur kekotoran - tidak tanggungjawab)



Mereka sama-sama mengimani "Asma Wa Sifat" sebagai bentuk keimanan pada Allah. Termasuk mengimani bahwa Allah berada di atas Arsy, Allah punya tangan, Allah punya betis, Allah punya mulut dan tertawa, dan sebagainya.



Ketika itu saya sedang berdialog dengan orang Salapi atau golongan Ahlus-sunnat. Tentu, saya memancing dengan beberapa pendapat milik orang Salapi lain, tentunya yang seakidah dengan orang yang sedang berdialog dengan saya.



Bentuk dialog saya buat berbeda, namun intinya adalah menunjukkan perbedaan antara Salapi dengan Salapi lainnya. Berikut hasil dialognya:



Saya bertanya: "Apakah setuju bahwa Allah memiliki bentuk seperti manusia? Apakah setuju, bila Allah berkehendak, Alloh turun ke bumi dengan naik nyamuk? Apakah setuju Allah memiliki batasan bentuk?"



Orang Salap menjawab: "Ngawur itu! Mana dalilnya?"



Padahal saya sudah menyertakan dalil yang berasal dari Hadis Al-Baihaqi, tentang mimpi Nabi seputar Allah. Waktu itu saya sedang membahas bahwa "Allah Tidak Maha Besar" (ucapan jebakan) yang kemudian dibantah orang tersebut bahwa Allah Maha besar. Kemudian saya menyertakan dalil tentang mimpi Nabi SAW bahwa Allah seperti manusia berambut kriting. Saya pun menyertakan pendapat Ibnu Taimiyah bahwa jika Allah berkehendak maka bisa saja turun ke langit dunia dengan menaiki nyamuk dan pendapat bahwa Allah memiliki batasan bentuk. Dalil ini menggambarkan bahwa Allah tidak Maha Besar. Jelas, saya dan dia menolaknya.



Namun, kenapa bertanya, "Mana dalilnya?" Padahal saya sudah menjelaskan hadis soheh dari Al-Baihaqi bahwa Allah seperti manusia berambut kriting dan terbang di atas nyamuk dengan kehendaknya.



Berikut adalah terjemahan hadist soheh Imam Muslim, Imam Al-Baihaqi dan ucapan Ibnu Taimiyah, terlepas apakah benar atau tidak terjemahannya:




1. Nabi Muhammad Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam As berdasarkan bentuk-Nya!”. (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim).



2. Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Qatadah dari Ikrimah dari Ibnu Abbas Ra yang berkata Rasulullah Saw bersabda: “Aku melihat Tuhan-ku (Allah Ta’ala) dalam bentuk pemuda ‘Amrad berambut keriting dengan pakaian berwarna hijau”. (Hadits Shahih Riwayat Al-Baihaqi didalam Asmaa’ Was Shifaat no 938; Riwayat Ibnu Adiy dalam Al-Kamil 2/260-261; Riwayat Al-Khatib dalam Tarikh Baghdad 13/55).



3. Ibnu Bathutah pernah bercerita: “Saya pernah menghadiri ceramahnya (ceramah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm) pada hari Jum’at ketika beliau sedang memberi pelajaran di hadapan umum di atas mimbar Jami’. Banyak pelajaran yang disampaikannya saat itu, diantaranya beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunya serupa dengan turunnya saya ini!’. Kemudian beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm) turun satu tingkat di jenjang mimbar!”. (Ibnu Bathutah didalam Rihlahnya hal. 112-113).



4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm berkata: “Sesungguhnya Allah Ta’ala memiliki batasan (bentuk) dan tidak ada yang mengetahui bentuk-Nya kecuali Dia sendiri. Demikian pula tempat-Nya memiliki batasan (bentuk), yaitu bahwa Allah Ta’ala berada di atas ‘arsy (Singgasana Allah yang terletak di atas langit yang ketujuh) di atas seluruh lapisan langit. Maka keduanya ini (Allah dan tempat-Nya) memiliki bentuk dan batasan!”. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm didalam Muwafaqat Sharih Al-Ma’qul, j. 2, h. 29).



5. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahumullah- berkata: “Semua manusia, baik dari orang-orang kafir maupun orang-orang mukmin telah sepakat bahwa Allah Ta’ala bertempat di langit, dan bahwa Dia diliputi dan dibatasi oleh langit tersebut, kecuali pendapat al-Marisi dan para pengikutnya yang sesat. Bahkan anak-anak kecil yang belum mencapai umur baligh apabila mereka bersedih karena tertimpa sesuatu maka mereka akan mengangkat tangan ke arah atas berdoa kepada Tuhan mereka yang berada di langit, tidak kepada apapun selain langit tersebut. Setiap orang lebih tahu tentang Allah dan tempat-Nya dibanding orang-orang Jahmiyyah”. (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm didalam Muwafaqat Sharih al-Ma’qul, j. 2, h. 29-30).



6. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rhm berkata: “Jika Allah berkehendak, pastilah Dia bersemayaam di atas punggung seekor nyamuk lalu ia terbang membawa-Nya dengan kekuasan dan kelembutan pengaturan-Nya!”. (Kitab At-Ta’sîs Fi Ar-Raddi ‘Alâ Asaas At-Taqdîs: 1/568. Kitab Asaas At-Taqdîs adalah karya Imam Fakhruddîn Ar-Razi Rhm, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah).



7. Dan masih banyak lagi bahwa itulah Allah, seperti manusia, menurut mereka.



Orang tersebut menolak zat Allah yang seperti ini (seperti manusia) padahal pendapat ini pun dibenarkan oleh kaum salafi lainnya. Akidahnya sama, namun kenapa tidak meyakini bahwa Allah seperti manusia berambut kriting dan terbang diatas nyamuk? Bukankah segala hal yang membahas zat Allah harus diimani karena memang menganut Trinitas Tauhid? Tetapi kenapa ada perbedaan yang sangat prinsip?



Apa jadinya, bila antar golongan yang mengaku "Salap" berhadap-hadapan dan mengemukakan pendapanya tentang hadis soheh dari Imam Al-Baihaqi bahwa Allah seperti manusia dan lainnya yang dianggap bertentangan. Apakah akan saling membid'ahkan bahkan mengkafirkan karena memang pembahasan yang prinsip, tidak boleh berbeda.



Memang, dalam hal akidah ada yang dianggap "Ushul Akidah" dan "Furu Akidah" menurut Buya Yahya (Pengasuh LPD Al-Bahjah Cirebon, Penceramah di MNCTV, Klik disini). Dalam furu, bisa saja berbeda. Namun, bila menyangkut "Tauhid Trinitas", dalam hal mengimani seluruh Sifat dan Nama Allah maka tidak boleh ada pertentangan. Bila memang terjadi pertentangan, siapa yang disebut "Kafir?" Karena menurut mereka, konon, bila tidak mengimani seluruh sifat dan nama Allah akan disebut "Kafir". Karena itulah, kaum Asya'ri dianggap kaum yang kafir karena tidak mengimani Allah punya tangan dan lainnya yang berkaitan zat Allah.
Share:

Entri Populer

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Pages

Theme Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.